CINTA PERTAMAKU PADA SENJA by Joyo Panoto

Ku terlalu lemah dalam kepala tertunduk untuk membendung air mata yang kini menetes pelan dipangkuanku. Sementara Pratama (baca baru saja jadi bekas pacarku) terlalu kejam segera melangkah pergi setelah memutuskan hubungan pacaranku dengan dia disaksikan atap kampus yang lengang di sore yang cerah ini.
            Perasaan campur aduk layaknya mie instan komplit menggerayangi dada. Bingung memutar-mutar kenapa bisa hal ini terjadi, pedas marah pada dia yang begitu lemah tergoda gadis lain, kental rindu akan dekapnya ketika ku sedang menangis dan rasa tidak rela mengakhiri kuah cintanya yang selalu mengalir ke arahku.
            “Seharusnya aku curiga. Kenapa dia tumben sekali sore-sore begini mengajakku ke atap gedung kampus. Ternyata dia tak ingin malu aku menangis di hadapan banyak orang karena diputuskan. Pratama selalu saja begitu, ingin tampil sempurna,” kataku lirih dengan senyum sinis dalam tundukku. “Di tempat kami mengawali merupakan tempat mengakhiri pula,” batinku menyesal dengan air mata dan rasa sakit di dada yang tak kunjung surut.
            Ku menerawang pada arak sekumpulan awan di atas kepalaku. Begitu pelan dan tanpa beban mereka merjalan membawaku kembali akan kisah lama pondasi cintaku.
***
            “Cinta! Oh please gimana bisa kamu jatuh cinta sama Pratama?” tanya Serena tak percaya dengan ekspresi memandang jijik.
            “Ssssstttt. Serena! Pelankan suaramu, kau menarik perhatian mahasiswa lain yang sedang nongkrong di kantin,” kataku setengah berbisik dengan pandangan meneliti sekeliling pada wajah-wajah yang kini sedikit teralih ke arah kami.
            “Hey kau terlalu berharga untuk Pratama yang pemalas itu, you know. Lihatlah kamu cantik, pintar dan berprestasi. Janganlah kau merendahkan diri dengan jatuh cinta sama Pratama yang play boy itu,” ceramah Serena dan hanya mampu ku balas dengan senyum. “Malah senyum senyum. Cinta…, kok bisa ya cinta pertamamu jatuh sama Pratama?” heran Serena yang sepertinya kini sudah kehabisan kata-kata untuk mengubah pikiranku.
            “Itu juga yang aku bingungkan. Dari dulu sampai sebelum ketemu Pratama di kampus, aku selalu memikirkan tentang pelajaran dan prestasi demi mengejar cita-citaku bekerja di Bank Indonesia. Tapi setelah bertemu Pratama di kelas mata kuliah Pengantar Manajemen, seolah dia mengalihkan fokus hidupku. Apakah ini yang namanya cinta pada pandangan pertama?”
            “Dia nyantet kamu kali? Kok bisa orang jaim sok perfect kaya gitu mengalihkan duniamu,” ejek Serena yang kini menyeruput mie ayam Bang Kumis kesukaannya.
            “Entahlah. Perasaan ini sulit dijelaskan. Seperti ada kupu-kupu yang berterbangan di perut dan aku tak tahu apa alasanku mencintainya, just love. Pratama cinta pertamaku,” kataku pelan sembari menerawang angan-angan berharap Pratama menjadi pacarku.
***
            Sore yang cerah, burung-burung masih asyik bermain dan enggan untuk pulang ke peraduan rumah. Irama kicaunya terdengar jelas hingga telingaku. Sering kali angin kencang menerbangkan rambut hitam panjangku memaksaku lebih sering menyingkirkan helai demi helai yang menampar wajah ini.
            “Ingin rasanya sekarang bisa tertawa seriang burung-burung itu bersama Pratama,” bayangku dalam duduk lesu di atap kampus sendirian.
Sepertinya sore selalu saja tidak pengertian padaku. Cuaca hati sedang apa, cuaca sore malah kebalikannya. Momen sore (baca senja kalau kamu sejenis dengan Pratama, sok romantis) yang penting pernah aku alami sebelumnya.
***
            Gelombang asmaraku ternyata disambut baik oleh dia yang tlah mengalihkan duniaku. Pratama entah mengapa setelah ia tahu kalau aku menyukai dia, Pratama perlahan melakukan pendekatan padaku. Dari lirikan mata yang acap kali ku pergoki mengarah ke arahku. Hingga senyuman dan sekedar sapaan selamat pagi yang dia ucapkan ketika ku masuk ruang kelas.
            Minggu demi minggu kami berdua semakin akrab dan sama-sama tahu kalau ada rasa di hati masing-masing. Hingga sore itu ku temukan remasan bulat kertas di dalam tasku ketika ku ingin prepare untuk pulang seusai kelas selesai.
            Ku buka remasan kertas hingga berbentuk selembar kertas kembali “Temui aku di atap kampus sore ini,” bacaku dalam hati. “Siapa ya?” gumamku penasaran karena tidak ada nama penulisnya.
            Heran dan penasaran, itu yang aku rasakan.
“Rena aku pulangnya entaran, ada urusan bentar. Kamu pulang aja dulu,” kataku pada Serena.
“Urusan apa?” tanya teman baikku penasaran.
            “Sama dosen. Udah dulu ya, see U,” ucapku cepat dan lekas saja keluar kelas tak ingin mendengarkan Serena mengintrogasiku lagi.
            Perlahan ku tapaki anak tangga menuju atap kampus. Sembari kertas misterius ku genggam dalam dekap jemariku yang entah mengapa kini lembab berkeringat. Jujur dalam hati ku memiliki harapan Pratamalah yang mengukir pesan ini untukku. Harapan lebih dari itu tentang apa yang akan terjadi aku tak berani menebak-nebak, biarlah menjadi misteri ketika ku sampai atap nanti.
            Akhirnya aku sampai juga di atap kampus yang sering kami sebut lantai keenam dari gedung ini. Terlihat seorang pria sedang berdiri di tubir gedung sembari menerawang jauh menuju barat. Seorang pria yang aku tahu siapa walau hanya punggungnya yang terlihat.
            “Pratama,” batinku senang dengan senyum terpampang perlahan mengawal langkahku menuju ke arah teman yang aku sebut sahabat akrab yang entah setelah ini akan aku sebut apa.
            “Rupanya kau sudah datang,” katanya tanpa membalikkan badan ke arahku.
            “Kok kamu bisa tau aku datang. Padahal niatnya mau aku kagetkan,” cemberutku dengan bibir manyun seperti anak kecil.
            “Lavender. Parfum lavendermu samar-samar sampai ke hidungku diantar oleh angin senja yang mendung ini,” jawab Pratama sambil membalikkan badan dan menatapku senang.
Matanya yang menyipit ketika dia tersenyum, itu salah satu yang ku suka darinya atau mungkin aku suka karena itu mata Pratama.
            “Kamu kenapa sih pake acara naruh pesan rahasia kaya gini?” tanyaku heran sembari memperlihatkan kertas kumal di tanganku. “Kaya anak kecil tau.”
            “Enak aja. Kamu tu yang sukanya kaya anak kecil,” ejeknya dengan senyum yang manis, memperlihatkan dua gigi gingsul miliknya.
            “Ada apa sebenarnya?”
            “Sini,” ajak Pratama sembari menuntun tangan kiriku untuk kami duduk di pondasi atap yang mirip bangku panjang. “Em kamu tau sendiri kan kalau aku ini sukanya langsung ke sasaran tanpa basa-basi?” kata Pratama dengan raut muka yang agak cemas dan itu sangat lucu serta menggemaskan di pandanganku.
            “Iya aku tau itu. Lalu?” tanyaku penasaran dengan detak jantung yang bertabuh cepat layaknya genderang.
            “Em aku mau menyampaikan sesuatu tapi kamu jangan marah ya? Janji?” kata Pratama dengan senyum manisnya ke arahku dan pandangan mata menggoda.
            “Iya aku janji aku tidak akan marah padamu apapun yang akan…,” kata-kataku terhenti oleh kecupan cepat Pratama yang mendarat di pipi kananku.
“I love you,” katanya sebelum wajahnya menjauh dari pipi kananku.
“I love you too,” jawabku malu-malu.
***
Akupun berdiri berusaha merasakan tamparan bayu yang semakin banyak di sore yang berangin ini. Ku biarkan rambut panjangku tergerai dan menari dipermainkan angin kencang layaknya Pratama mempermainkan perasaanku dan perasaan gadis-gadis lain yang terjerat olehnya.
Sambil membentangkan tangan dan memejamkan mata ku hirup lekat-lekat udara sebanyak mungkin yang dapat ku tampung dalam paru-paruku. Ku hembuskan kembali udara yang tadi ku usahkan untuk ku simpan, ku ikhlaskan kembali ke alam bersama kekecewaanku pada dia cinta pertama yang kini terlepas.
“Aaaarrrrhhhhh,” ku teriakkan amarahku, ku biarkan deretan gedung-gedung kota Semarang yang ada di bawah sana mendengar gelegar teriak yang aku sebut rintihan. Ku membungkuk lelah dengan mata memandang butiran semen dan pasir yang membatu jadi satu sebagai penopang ragaku.
Perasaan lega sedikit mengambil alih emosi di dada ini.
“Semua pasti ada hikmahnya,” ku mulai tersadar untuk menjadi Cinta yang selalu berpikiran positif. “Mungkin kalau aku tetap bersama Pratama yang memang sebenarnya seorang play boy hingga nanti berkeluarga pastilah aku akan menjadi istri yang paling menderita karena mendapati suaminya bermain serong dengan wanita lain.”
“Terima kasih Tuhan karena berbelas kasih kepada hamba. Terima kasih karena Engkau telah menyadarkan hamba sejak dini sebelum terlibat pada kondisi yang lebih rumit lagi,” kataku lirih mengucap syukur pada Yang Maha Berkehendak.
Ku mulai mengangkat wajah dan menatap cahaya yang baru ku sadari sedari tadi setia menemaniku. Mentari perlahan bersembunyi di punggung gunung memancarkan lembaran cahya keemasan di dataran rumput beton yang kini mulai menyalakan kerlip lampu-lampunya.
“Cahaya sore… oh bukan cahaya senja maksudku. Begitu indah. Begitu tentram dalam pandangku. Begitu hangat sehangat suasana di ruang keluarga. Senja… nampaknya aku sejenis dengan Pratama, sok romantis,” gumamku dengan tangan bersedekap menikmati cahya senja.
Sesekali terdengar bunyi klakson mobil di jalan raya, sesekali terlihat kerumunan orang berjalan sepulang kerja dan sesekali terasa penat akan pemandangan kota yang kehilangan warna hijaunya.
“Cahaya senja yang indah. Warna keemasan dengan sedikit warna lembayung dihiasi deretan mega tipis serta birunya langit, sungguh lukisan yang tak akan sanggup ditiru maestro seni aneka jaman. Satu senja beribu manusia, kira-kira berapa banyak ya orang yang menyempatkan diri hanya untuk melihat senja ini?” tanyaku dengan pandang masih terkagum akan panorama lama yang baru aku temukan sebagai lembaran pentingku.
Semakin waktu menuju larut semakin ku dibuai oleh indahnya panorama senja. Dari warna kuning keemasan yang tangguh perlahan berubah menjadi lembayung dan ungu yang eksotis.
“Perasaan itu datang lagi. Perasaan yang tak bisa ku jelaskan rinci dengan kata-kata. Cinta. Cinta pertamaku pada senja setelah belasan tahun hidup baru kurasakan sekarang. Terima kasih Tuhan kau beriku pengobat sakit hati karna Pratama dengan pemandangan yang luar biasa ini,” perlahan senyum ikhlas terpampang di wajahku.
Perasaan tenang menyeruak lekat-lekat tanpa celah. Rasa sakit yang sedari tadi menempel lekat kini terkikis lebur bersama angin menjauh.
“Moving on. Hidup selalu harus berjalan. Harus ada yang pertama untuk mendapatkan yang terakhir, batinku memantapkan hati untuk terus melangkah menjalani hidup dan menggapai cita-cita besarku.”
Perlahan namun pasti, hidup harus melompat dari satu level ke level lain. Menjadi lebih baik dari mengambil pelajaran pengalaman yang telah dialami.
“Tunggulah kesetiannku untuk kembali menatapmu senja, esok dan seterusnya dimanapun aku berada. Akan ada selalu pandang mata ke arah Barat di sore hari,” janjiku dalam hati.
Senja merubah siang menjadi malam. Senja merubah mimpi menjadi kisah. Dan senja merubah sedihku menjadi harapku. Terima kasih cinta pertamaku.

Popular posts from this blog

Dia Kembali! My First Love

Cukilan "From the Facebook"

Katakan Sekarang atau Tidak Sama Sekali