Seorang Atheis



Langit memang sedang menangis namun semburat cahya surya di sore ini masih terlihat jelas meski waktu menunjukkan pukul lima. Terang dan hangat, ketika semburat cahya surya sore menerpaku melewati tubuh Anisa yang tengah sholat di depan sana. Suasana mushola STIE BANK BPD JATENG begitu lengang hanya dihiasi oleh desah suara kipas angin yang bergetar termakan usia. Ku rasakan asal cahya kehangatan yang sedari tadi memeluk tubuhku ini sembari duduk menyandarkan tubuh pada tumpukan karpet di belakang mushola melihat alur-alur air hujan bertorehkan cahya emas pada kaca. Anganku terus saja melayang akan jawaban pertanyaan Anisa yang harus segera ku berikan kepadanya.
            “Aan.... malah bengong. Huh leganya sudah sholat. O iya bagaimana sudahkah kau tetapkan hatimu? Aku memberikan pertanyaan ini sudah semenjak setengah tahun yang lalu dan kita sudah berpacaran selama tiga tahun. Jadi menurutku saat inilah kau harus menetapkan hatimu” kata Anisa yang  tiba-tiba sudah duduk di depanku melipat mukenanya.
            Ku terus saja terdiam sembari mencoba menghindar dari tatapan sayu mata Anisa yang terus saja memburu pandanganku “Eh mengapa kau begitu membenci pandangan yang tidak mengakui keberadaan Tuhan, pandangan atheis?” tanyaku dengan jantung yang berdetak semakin kencang dan kencang.
            “Karena ku yakin bahwa Allah itu ada. Aku rasa ketika kau tidak mengakui keberadaan Tuhan, kau tidak benar-benar meniadakan keberadaan Tuhan hanya saja kau merasa kecewa akan takdir-Nya yang harus menyuratkan ayahmu meninggal ketika kau kecil sehingga kau dan kelurgamu harus banting tulang. Tentu saja aku tidak setuju dengan sikap itu karena dalam kehidupan ini pastilah ada yang namanya cobaan sehingga akan diketahui seberapa kekuatan iman dan taqwanya kepada Allah. Kaupun sudah mengerti hal ini dari kajian-kajian agama yang kau tekuni dua tahun ini kan?” jawabnya jelas sembari tersenyum manis ke arahku dengan pandangan sayu yang menenangkan.
            “Bukankah negara kita adalah negara yang demokrasi yang bebas menentukan pilihan? Kenapa pandangan seperti ini tidak sah-sah saja?” tanyaku dengan nada tinggi.
“Negara kita memang negara yang demokrasi yang bebas menentukan pilihan namun kebebasan ini juga ada batasannya. Apalagi dasar negara kita pada sila pertama KETUHANAN YANG MAHA ESA sudah jelas bahwa negara kita tidak menyetujui pandangan tidak mengakui adanya Tuhan,” terang Anisa tegas.
            “Anisa kau telah memberitahuku bahwa alasanmu menerimaku dengan harapan kau dapat membawaku ke jalan yang benar walau kau tahu pacaran bukanlah adat yang dibenarkan dalam pandangan Islam tapi jika aku tetap di jalan yang salah apakah kau akan tetap menerimaku padahal kau juga telah mengakui bahwa kau telah benar-benar jatuh hati kepadaku?” tanyaku kini dengan nada yang lembut dan penuh harap.
            “Aku memang telah jatuh hati kepadamu...,” jawab Anisa lirih.
            “Maka terimalah aku apa adanya, please,” pintaku penuh harap.
***
Cintaku tak bertepuk sebelah tangan karena empat tahun kemudian aku akhirnya meminang gadis manis bermata sayu, Anisa Nurmala Dewi. Seorang wanita yang kini menemaniku di ruang keluarga dengan rambut hitam lurusnya yang terurai laksana air terjun yang membawa kesejukan di hatiku ini.
“Mas udah malam besokkan harus kerja jangan sampai kesiangan lho,” kata Anisa sembari menyandarkan kepalanya di pelukkanku.
“Iya sebentar lagi, lagi asyik nonton bola. Em kalau boleh jujur nih aku tidak menyangka kau akan menerimaku apa adanya hingga kita akhirnya dapat menjadi sepasang suami istri. Terima kasih atas kepercayaanmu kepadaku,” kataku sembari mencium pusat kepala Anisa yang dihiasi rambut lembut hitam pekat.
“Iya sama-sama dan kau kini telah membuktikkan perkataanmu, terima kasih juga,” kata Anisa dengan suara lembutnya membuat suasana malam menjadi hangat dan tak kan ku lewatkan malam-malam seperti ini.
***
Ketika di mushola itu dimana hujan mengguyur ditemani cahya mentari sore,
“Maka terimalah aku apa adanya, please,” pintaku penuh harap.
“Aku memang mencintaimu tapi rasa cintaku kepada Allah jauh jauh lebih besar dari pada rasa cintaku kepada apapun termasuk juga kamu. Aku ingin mendengar keputusanmu setelah kau belajar tentang agama Islam lebih mendalam lagi. Aku rasa ini benar-benar saatnya,” tuntut Anisa dengan mata penuh harap dan kini terlihat cahya air mata pada ekor matanya. Tak sanggup ku melihat dia menangis. “Akankah kau tetap beriman kepada Allah SWT dan bertaqwa kepada-Nya sampai kapanpun?”
“Setelah aku memutuskan masuk Islam dan memahami lebih dalam lagi dari hasil belajar dengan ustad Ahmad Hambali aku benar-benar sadar sekarang. Aku benar-benar yakin akan keberadaan Allah dan aku beriman dan bertaqwa kepada-Nya. Aku benar-benar telah meyakini bahwa Nabi Muhammad SAW adalah utusan terakhir-Nya sebagai rosul dan menjadikan Al Quran sebagai pedoman. Aku bukanlah Aan tiga tahun yang lalu, bukan Aan yang seorang atheis lagi,” kataku dari libuk hati paling dalam.
“Apakah benar itu? Aku tidak ingin kamu meyakini itu semua hanya karena aku, tapi aku ingin kamu meyakini itu semua karena Allah SWT,” kata Anisa dengan pandangan semakin berharap dan mata jelas berkaca-kaca menyayat hatiku.
“Aku mohon jangan berpandangan seperti itu tentang keimananku. Aku benar-benar telah yakin akan kebenaran adanya Tuhan Yang Maha Esa yaitu Allah SWT dan entah nanti aku akan tetap berjodoh denganmu atau tidak, akan ku pastikan bahwa keimananku akan Allah SWT tidak akan pudar,” jawabku benar-benar yakin berbekal keimanan yang telah ku pupuk selama ini kepada Allah SWT.
“Al hamdu lillāh kalau memang benar itu adanya. Subhānāllah, Mahasuci Allah, yang telah memberikan hidayahnya kepada kamu,” kata Anisa dengan air mata yang kini benar-benar telah menetes. Inginku hapus air matanya namun ku tak bisa karena ku bukan muhrimnya.
“Aku berjanji akan menjadi seorang muslim yang takkan luntur keimananya kepada Allah SWT serta akan ku tingkatkan taqwaku, dan janji ini aku janjikan pada Allah SWT.”
***

by - Joyo Panoto


Popular posts from this blog

Dia Kembali! My First Love

Cukilan "From the Facebook"

Katakan Sekarang atau Tidak Sama Sekali